Pengertian Kain Tapis
Kain tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem sulam (Lampung; "Cucuk").Dengan demikian yang dimaksud dengan Tapis Lampung adalah hasil tenun benang kapas dengan motif, benang perak atau benang emas dan menjadi pakaian khas suku Lampung. Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung yang terbuat dari benang kapas dengan motif seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak.
Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral.
Bahan dan peralatan tenun tapis
Bahan dasar
Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistem sulam.Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistem ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Bahan-bahan baku itu antara lain :
- Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang.
- Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera.
- Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang.
- Akar serai wangi untuk pengawet benang.
- Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur.
- Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah.
- Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam.
- Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat.
- Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru.
- Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Peralatan tenun kain tapis
Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut :- Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun.
- Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian alat-alat :
- Terikan (alat menggulung benang)
- Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh)
- Belida (alat untuk merapatkan benang)
- Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang)
- Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan)
- Guyun (alat untuk mengatur benang)
- Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun)
- Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang)
- Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan)
- Amben (alat penahan punggung penenun)
- Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.
Proses Pembuatan Kain Tapis
Berdasarkan peralatan yang digunakan, proses pembuatan kain tapis dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama pembuatan kain tapis dengan
alat tenun gedogan dan ATBM, kedua dengan alat tenun mesin (ATM). Pada
proses pembuatan tapis dengan gedogan dan ATBM, meliputi tahap
pengolahan bahan dasar, penyusunan benang, penenunan benang, dan tahap
penyulaman ragam hias. Sedangkan pada periode kedua, karena bahan dasar
telah dibuat dengan mesin dan siap pakai, maka proses pembuatan tapis
cukup dengan membuat sulaman ragam hias.
1. Proses Pembuatan Tapis dengan Alat Tenun Gedogan
Proses pembuatan tapis dengan menggunakan alat tenun gedogan adalah sebagai berikut:
Tahap pengolahan bahan dasar
Sebelum dikenalnya benang buatan pabrik, tahap paling awal dalam
pembuatan tapis adalah pemintalan kapas (khambak) menjadi benang katun
dan kepompong ulat sutera menjadi benang emas. Kemudian benang-benang
tersebut diawetkan dengan cara direndam dalam air yang dicampur dengan
akar serai wangi. Setelah proses pengawetan selesai, tahap selanjutnya
adalah proses pewarnaan benang dengan menggunakan bahan-bahan alami.
Misalnya, agar benang berwarna coklat, benang katun direndam dalam air
yang dicampur dengan serbuk ulit kayu mahoni atau kulit kayu durian.
Agar benang berwarna merah menggunakan daun pinang muda, daun pacar dan
kulit pohon kejal. Agar benang berwarna hitam menggunakan kulit pohon
salam dan kulit pohon rambutan. Dan, bila warna benang sesuai dengan
yang diinginkan, maka benang lalu direndam dalam air yang dicampur daun
sirih agar warnanya tidak mudah luntur.
Tahap penyusunan benang
Setelah benang terbentuk, proses selanjutnya adalah menyusunnya pada
alat yang disebut sesang. Penyusunan benang diawali dengan memasukkan
benang yang jumlahnya bergantung dari lebar kain yang akan dibuat pada
tempat peletakan gulungan benang. Pada alat ini benang dipisahkan
berdasarkan warnanya. Selanjutnya ujung benang diikatkan pada anak
sesang. Apabila benang yang diletakkan mencakup pada ketujuh buah paku,
maka pengikatan ujung benang mencakup pada ketujuh anak sesang pada
salah satu balok sesang. Benang-benang tadi lalu direntangkan satu per
satu dengan gulungannya mengelilingi anak sesang. Setelah proses
penyesangan selesai baru dipindahkan pada alat berikutnya yaitu terikan.
Tahap penenunan benang
Tahap penenunan benang diawali dengan menggulung benang yang telah
disesang ke alat terikan. Penggulungan benang harus dilakukan secara
cermat dan hati-hati agar susunan warnanya teratur karena warna menjadi
salah satu corak dalam memperindah tenunan.
Setelah terikan siap lalu dipindahkan pada tiang penyangga cacap. Pada
bagian ujung gulungan benang ini diulur dan direntangkan lalu ke
dalamnya disorongkan sebuah apik dan kemudian didempetkan apik yang
lain. Kedua ujung apik tersebut diikat agar benang tidak mudah
berpindah-pindah. Kemudian gulungan benang direntangkan lagi dan apik
diikatkan pada tali amben yang dipasang pada pinggang penenun agar
rentangan benang agak kencang.
Selanjutnya, kusuran diletakkan membujur di atas bentangan benangantara
terikan dan apik. Bagian ujung kusuran diikat benang yang kemudian
diselipkan ke benang tenun bagian bawah lalu diangkat ke atas dan
dililitkan lagi pada kusuran. Demikian seterusnya hingga setiap helai
rentangan benang tenun dililitkan dengan benang kusuran dan diikatkan
lagi pada ujung kusuran lainnya.
Bila kusuran telah dimasukkan, menyusul belida diselipkan pada bentangan
benang antara kusuran dan apik. Demikian pula guyun yang diselipkan
pada bentangan benang antara kusuran dan terikan. Kemudian, sekeli yang
merupakan gulungan benang pakan diulur dan diikat pada salah satu sudut
bentangan dekat apik. Penenun kemudian menggunakan amben dan duduk di
tikar sambil menghadap perlengkapan tenun. Selanjutnya penenun mulai
mengangkat kusuran dan menariknya sambil mengangkat guyun. Setelah itu
belida dimasukkan dan ditarik beberapa kali ke arah penenun. Belida lalu
dikeluarkan dan sekeli dimasukkan secara membujur, kemudian disusul
dengan memasukkan belida lagi serta menarik-nariknya ke arah penenun
untuk memantapkan susunan benang. Proses pengangkatan kusuran, pemasukan
sekeli dari kiri ke kanan dan sebaliknya serta penarikan belida
dilakukan secara berulang-ulang hingga terbentuk sebuah kain.
2. Proses Pembuatan Tapis dengan ATBM
Dalam proses pembuatan tapis dengan menggunakan ATBM, para perajin
umumnya sudah menggunakan benang produksi pabrik sehingga tidak perlu
mengolah bahan dasar lagi untuk dijadikan benang. Jadi, bagi perajin
yang menggunakan benang katun sebagai bahan dasar tapisnya, tidak perlu
lagi mengolahnya karena telah tersedia benang siap pakai dengan berbagai
macam warna. Sementara bagi perajin yang menggunakan benang masres dan
sunwash, harus mengolahnya terlebih dahulu menggunakan pewarna kimia
karena benang yang dijual di pasaran warnanya hanya putih polos.
Seperti telah dikatakan di atas, benang masres dan sunwash selain dapat
dibeli pada toko-toko sekitar wilayah Kalianda dan Bandarlampung (dalam
jumlah kecil), juga dapat dibeli langsung pada sentra produksinya di
daerah Pekalongan, Jawa Tengah. Wujud awal benangnya sendiri masih dalam
bentuk pak-pakan atau ball-ballan sehingga harus dicuci terlebih
dahulu, kemudian direndam selama lebih kurang satu malam lalu dijemur
hingga kering selama lebih kurang satu hari, bergantung ada atau
tidaknya sinar matahari.
Bila benang telah kering, maka proses selanjutnya adalah dikelos menjadi
gulungan-gulungan kecil menggunakan alat yang disebut gelosan/kelosan.
Alat ini ada yang menggunakan penggerak mesin dan ada pula yang
menggunakan tenaga manusia. Kelosan bertenaga mesin berbentuk persegi
pajang terbuat dari bahan besi bulat yang bagian atasnya terdapat
beberapa buah roda penggulungan berukuran besar dan kecil. Roda
berukuran besar berfungsi untuk memintal benang hasil jemuran, sedangkan
roda berukuran kecil untuk memindahkan benang dari roda besar menjadi
kelosan-kelosan kecil. Sementara kelosan bertenaga manusia bentuknya
lebih sederhana dan terbuat dari bahan kayu dan sebuah velg sepeda
beserta pedal kayuhannya. Adapun prosesnya sama seperti kelosan mesin,
hanya hasilnya lebih sedikit dan waktu pengerjaannya relatif lebih lama.
Oleh karena itu, bagi pengusaha tapis berskala sedang dan besar hanya
menggunakan kelosan bertenaga manusia untuk mengelos benang-benang
penyawat saja.
Proses berikutnya adalah mengeteng atau merentangkan benang kelosan
dengan alat yang disebut keteng. Benang kelosan atau disebut juga benang
strengan atau benang lusi itu diletakkan pada kreel, yaitu rangka kayu
untuk mencucukkan kelosan. Selanjutnya, ujung-ujung benang pada kelosan
tadi diambil secara berurutan dari kreel nomor 1, 2, 3, dan seterusnya
lalu dimasukkan atau dicucukkan secara berurutan pula pada besi silang,
sisir silang (untuk satu lubang sisir hanya boleh satu helai benang),
dan sisir hani. Setelah seluruh benang telah dicucukkan, maka bagian
ujung-ujungnya disatukan lalu diikat pada kaitan yang terdapat pada
tambur. Penghanian bisa dimulai dengan memutar tambur hingga benang
tergulung dalam boom tenun dengan jumlah sebanyak yang diperlukan
(maksimal hingga 200 meter).
Pada saat melakukan penghanian ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu: (a) benang yang digulung panjangnya harus sama; (b) letak benang
yang digulung pada boom tenun harus dalam keadaan sejajar; (c) benang
yang digulung pada boom tenun bisa penuh atau sesuai keperluan; (d)
lebar benang yang digulung pada boom tenun harus sedikit lebih besar
dari sisir; (e) benang yang digulung harus lebih panjang dari kain yang
akan dibuat; dan (f) permukaan benang pada boom tenun harus rata.
Setelah benang tergulung dalam boom dan menjadi bahan kain siap tenun,
maka proses selanjutnya adalah penenunan awal atau ada yang menyebutnya
ditenun carang/carangan karena persilangan antara benang lusi dan
pakannya hanya bertujuan untuk membuat kunci sehingga belum rapat atau
masih jarang-jarang. Proses ini dilakukan untuk mempermudah proses
selanjutnya, yaitu pencetakan atau pensablonan motif dan ragam hias.
Tujuannya, agar pencetakan atau pensablonan pola motif dan ragam hias
dapat dilakukan secara sempurna.
Pada tahap mensablonan kain, jika perajin sudah ahli membuat pola
sekaligus mensablonnya, maka pengerjaannya dapat dilakukan sendiri.
Namun jika tidak dapat membuatnya sendiri atau hanya dapat membuat salah
satunya saja, maka akan mempekerjakan orang yang ahli di bidang
tersebut. Misalnya, para pengusaha tapis berskala menengah dan besar
umumnya mempekerjakan orang-orang yang mempunyai keahlian khusus dalam
mendesain pola dan mensablon kain. Cara kerja pendesain pola tapis bisa
berdasarkan pesanan pengusaha atau desainan sendiri dengan berpatokan
pada pakem motif dan ragam hias yang telah ada.
Setelah rancangan pola tapis berhasil dibuat, selanjutnya dibawa ke
bagian pensablonan untuk dibuatkan planggan atau cetakan sablon
berbentuk empat persegi panjang berukuran 1 meter x 1,20 meter. Sampel
cetakan sablon itu lalu diserahkan pada pengusaha tapis untuk
mendapatkan sersetujuan mengenai komposisi warnanya. Bila pengusaha
telah setuju, tukang sablon lalu meramu obat-obatan kimia untuk membuat
komposisi warnanya. Bahan pewarna kimia yang digunakan adalah porsen
dengan harga bervariasi untuk setiap kilogram, bergantung warnanya.
Adapun takarannya bergantung pula pada ukuran dan komposisi warna kain
yang akan disablon. Misalnya, untuk membuat warna merah pada kain
berukuran sekitar 25 meter dibutuhkan 80 gram porsen tipe 8b22r ditambah
20 gram porsen tipe 8b20r lalu dicampur 3 liter air. Pengoplosan warna
dan obat pengawet umumnya bersifat rahasia dan hanya dikuasai oleh
tukang sablon. Bahkan, pengusaha tapis yang mempekerjakannya seringkali
tidak tahu atau tidak mengerti prosesnya, sehingga mulai dari membeli
bahan pewarna hingga pensablonan dilakukan oleh tukang sablon.
Bila komposisi warna sudah didapatkan, proses selanjutnya adalah
pensablonan. Caranya, tenun carangan digelar di atas meja sablon terbuat
dari mika berukuran panjang 10 meter, lebar 1,20 meter, dan tinggi 1,20
meter. Selanjutnya planggan diolesi ramuan pewarna porsen lalu
ditempelkan atau dicapkan pada kain. Agar warna menempel, ramuan porsen
yang telah berada di dalam planggan digosok-gosong menggunakan karet
tebal. Demikian seterusnya hingga seluruh kain tersablon.
Kain hasil sablonan kemudian dijemur hingga kering selama kurang lebih
satu hari. Setelah kering, kain digantungkan sedemikian rupa lalu
dimasukkan pada alat steam berbentuk kotak berukuran panjang 2 meter,
lebar 2 meter, dan tinggi 3 meter. Bagian atas alat steam berbentuk
segitiga sebagai penahan uap panas, sedangkan bagian belakangnya
dipasangi tungku berbahan bakar kayu sebagai pemanas airnya. Uap yang
keluar dari air panas disalurkan melalui sebuah pipa besi untuk
menyeteam kain. Penyeteaman dilakukan pada suhu sekitar 140 derajat
celcius selama 30 menit dengan tujuan untuk mematenkan warna sehingga
tidak mudah luntur. Selesai diseteam kain dilorot atau dicuci pakai air
panas lalu dibilas agar residu dari oplosan porsen yang mengandung soda
hilang sehingga warna sablonan menjadi lebih terang. Kain yang telah
dibilas dan bersih dari residu porsen itu lalu dijemur lagi hingga
kering.
Proses selanjutnya, setelah kain kering, adalah penenunan akhir. Adapun
inti prosesnya adalah penyilangan antara benang lusi dan benang pakan
yang terjadi akibat turun naiknya gun secara bergantian. Ke dalam mulut
lusi benang pakan diluncurkan untuk kemudian bersilang dengan
benang-benang lusi dan akhirnya menjadi sehelai kain. Dan, proses
terakhir adalah penyulaman motif dan ragam hias mengikuti pola-pola yang
telah tersablon di kain tapis yang telah jadi.
3. Proses Pembuatan Ragam Hias Tapis
Untuk membuat sebuah tapis, terlebih dahulu kain dipotong sesuai dengan
ukuran yang diinginkan. Tapis model kuna (tapis tua) umumnya berukuran
65 centimeter x 120 centimeter, sementara tapis model baru berukuran
antara 75 centimeter-80 centimeter x 120 centimeter. Sedangkan untuk
membuat benda-benda bercorak tapis seperti peci, tas, tempat lipstik,
dan sebagainya, kain terlebih dulu dipotong dengan ukuran selendang,
kemudian disulam, baru dipotong lagi sesuai kebutuhan.
Bila kain telah dipotong sesuai ukuran yang dikehendaki, proses
selanjutnya adalah pembuatan ragam hias yang diawali dengan menyambung
kedua ujung kain hingga menyerupai tabung. Kemudian, kain dimasukkan
pada kerangka tekang lalu dikencangkan dengan cara memasukkan papan
pengencang secara melintang pada bagian tengah tekang dan kain yang akan
disulam. Setelah kain terpasang sempurna pada alat tekang, proses
berikutnya adalah pembuatan ragam hias. Untuk kain yang sudah memiliki
ragam hias (kain sablonan), perajin hanya tinggal menyulamnya mengikuti
ragam hias tersebut. Sementara, untuk kain yang masih polos, perajin
harus membuat pola ragam hiasnya terlebih dahulu. Adapun untuk teknik
pembuatannya, Marojahan, dkk (1990) membedakannya menjadi dua cara. Cara
pertama, pola ragam hias tidak dipindahkan ke atas kain dasar, tetapi
hanya dibuat di atas kertas pola saja. Dengan demikian pola sulaman
dikerjakan secara naluriah, cukup dengan hanya melihat pada kertas pola.
Patokan ukurannya berpegang pada garis yang ada pada kain dasar tapis
karena memang pada umumnya bermotif garis. Cara membuat pola seperti ini
dapat dilakukan karena motif-motifnya sudah sering dibuat dan
perajinnya bukan pemula lagi. Sedangkan cara yang kedua adalah dengan
menggambarnya pada kain yang akan disulam di atas pamidangan atau
tekang. Pemberian gambar harus sesuai pula dengan garis-garis yang ada
pada kain. Cara ini biasanya diterapkan untuk motif-motif baru atau
perajinnya masih termasuk golongan pemula.
Bila motif ragam hias telah terbentuk, proses selanjutnya adalah
penyulaman. Peralatan dan bahan yang digunakan untuk menyulam,
diantaranya adalah: (a) benang sutera yang dirangkap 4,5,6,7, atau 8
sebelum digunakan; (b) benang sulam warna (wol) sebagai pelengkap dengan
jumlah tidak banyak; (c) benang penyawat berupa benang biasa untuk
menahat atau melekatkan benang sutera pada kain; (d) pamidangan atau
tekang; (e) jarum jahit tangan; dan (f) gunting jahit.
Proses penyulaman kain dilakukan dengan menyucuk dan menyasab. Menyucuk
adalah teknik menyulam sesuai dengan garis-garis warna yang ada pada
kain dan patogan gambar, sedangkan menyasab adalah teknik menyulam
dengan hanya mengikuti garis-garis kain yang telah ada. Penyulaman
menggunakan jarum jahit tangan dan benangnya benang emas, benang perak,
benang sutera, dan benang penyawat. Pada bagian lajur atas kain tapis
tidak diberi ragam hias karena bagian ini diikat pada pinggang
pemakainya. Bila akan menggeser kain yang akan dibuat ragam hias
dilakukan dengan cara melonggarkan alat pengencang sambil menggerakkan
kain sesuai keinginan penyulam.
Adapun waktu yang diperlukan untuk membuat sulaman pada selembar kain
tapis bergantung pada beberapa hal, misalnya: motif dan ragam hias
tapis; status pekerjaan penyulamnya; dan tempat penyulam mengerjakannya.
Bila motif dan ragam hias relatif rumit akan memerlukan waktu lebih
lama dibandingkan dengan motif yang lebih sederhana. Selain motif, lama
pengerjaan juga ditentukan oleh status pekerjaan si penyulam sendiri.
Bila pekerjaan menyulam hanya sekadar sebagai sampingan atau tambahan
untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka waktu pengerjaannya
akan lebih lama dibandingkan dengan orang yang pekerjaan utamanya
sebagai penyulam tapis. Terakhir, bila pekerjaan menyulam dikerjakan di
rumah sendiri, maka pengawasan menjadi lemah sehingga hasilnya secara
kualitas bisa kurang memuasakan dan waktunya lama. Sebaliknya, bila
penyulam ditampung di tempat pengusaha tapis, pekerjaannya dapat diawasi
dan kualitas hasilnya relatif lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar