Rabu, 05 Maret 2014

  Pengertian Kain Tapis

Kain tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem sulam (Lampung; "Cucuk").
Dengan demikian yang dimaksud dengan Tapis Lampung adalah hasil tenun benang kapas dengan motif, benang perak atau benang emas dan menjadi pakaian khas suku Lampung. Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung yang terbuat dari benang kapas dengan motif seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak.
Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral.

Bahan dan peralatan tenun tapis 

Bahan dasar

Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistem sulam.
Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistem ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.
Bahan-bahan baku itu antara lain :
  • Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang.
  • Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera.
  • Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang.
  • Akar serai wangi untuk pengawet benang.
  • Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur.
  • Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah.
  • Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam.
  • Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat.
  • Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru.
  • Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Pada saat ini bahan-bahan tersebut di atas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan di atas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran.

Peralatan tenun kain tapis

Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut :
  • Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun.
  • Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian alat-alat :
  • Terikan (alat menggulung benang)
  • Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh)
  • Belida (alat untuk merapatkan benang)
  • Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang)
  • Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan)
  • Guyun (alat untuk mengatur benang)
  • Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun)
  • Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang)
  • Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan)
  • Amben (alat penahan punggung penenun)
  • Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.

 Proses Pembuatan Kain Tapis

Berdasarkan peralatan yang digunakan, proses pembuatan kain tapis dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama pembuatan kain tapis dengan alat tenun gedogan dan ATBM, kedua dengan alat tenun mesin (ATM). Pada proses pembuatan tapis dengan gedogan dan ATBM, meliputi tahap pengolahan bahan dasar, penyusunan benang, penenunan benang, dan tahap penyulaman ragam hias. Sedangkan pada periode kedua, karena bahan dasar telah dibuat dengan mesin dan siap pakai, maka proses pembuatan tapis cukup dengan membuat sulaman ragam hias.
1. Proses Pembuatan Tapis dengan Alat Tenun Gedogan
Proses pembuatan tapis dengan menggunakan alat tenun gedogan adalah sebagai berikut:
Tahap pengolahan bahan dasar
Sebelum dikenalnya benang buatan pabrik, tahap paling awal dalam pembuatan tapis adalah pemintalan kapas (khambak) menjadi benang katun dan kepompong ulat sutera menjadi benang emas. Kemudian benang-benang tersebut diawetkan dengan cara direndam dalam air yang dicampur dengan akar serai wangi. Setelah proses pengawetan selesai, tahap selanjutnya adalah proses pewarnaan benang dengan menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, agar benang berwarna coklat, benang katun direndam dalam air yang dicampur dengan serbuk ulit kayu mahoni atau kulit kayu durian. Agar benang berwarna merah menggunakan daun pinang muda, daun pacar dan kulit pohon kejal. Agar benang berwarna hitam menggunakan kulit pohon salam dan kulit pohon rambutan. Dan, bila warna benang sesuai dengan yang diinginkan, maka benang lalu direndam dalam air yang dicampur daun sirih agar warnanya tidak mudah luntur.
Tahap penyusunan benang
Setelah benang terbentuk, proses selanjutnya adalah menyusunnya pada alat yang disebut sesang. Penyusunan benang diawali dengan memasukkan benang yang jumlahnya bergantung dari lebar kain yang akan dibuat pada tempat peletakan gulungan benang. Pada alat ini benang dipisahkan berdasarkan warnanya. Selanjutnya ujung benang diikatkan pada anak sesang. Apabila benang yang diletakkan mencakup pada ketujuh buah paku, maka pengikatan ujung benang mencakup pada ketujuh anak sesang pada salah satu balok sesang. Benang-benang tadi lalu direntangkan satu per satu dengan gulungannya mengelilingi anak sesang. Setelah proses penyesangan selesai baru dipindahkan pada alat berikutnya yaitu terikan.
Tahap penenunan benang
Tahap penenunan benang diawali dengan menggulung benang yang telah disesang ke alat terikan. Penggulungan benang harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar susunan warnanya teratur karena warna menjadi salah satu corak dalam memperindah tenunan.
Setelah terikan siap lalu dipindahkan pada tiang penyangga cacap. Pada bagian ujung gulungan benang ini diulur dan direntangkan lalu ke dalamnya disorongkan sebuah apik dan kemudian didempetkan apik yang lain. Kedua ujung apik tersebut diikat agar benang tidak mudah berpindah-pindah. Kemudian gulungan benang direntangkan lagi dan apik diikatkan pada tali amben yang dipasang pada pinggang penenun agar rentangan benang agak kencang.
Selanjutnya, kusuran diletakkan membujur di atas bentangan benangantara terikan dan apik. Bagian ujung kusuran diikat benang yang kemudian diselipkan ke benang tenun bagian bawah lalu diangkat ke atas dan dililitkan lagi pada kusuran. Demikian seterusnya hingga setiap helai rentangan benang tenun dililitkan dengan benang kusuran dan diikatkan lagi pada ujung kusuran lainnya.
Bila kusuran telah dimasukkan, menyusul belida diselipkan pada bentangan benang antara kusuran dan apik. Demikian pula guyun yang diselipkan pada bentangan benang antara kusuran dan terikan. Kemudian, sekeli yang merupakan gulungan benang pakan diulur dan diikat pada salah satu sudut bentangan dekat apik. Penenun kemudian menggunakan amben dan duduk di tikar sambil menghadap perlengkapan tenun. Selanjutnya penenun mulai mengangkat kusuran dan menariknya sambil mengangkat guyun. Setelah itu belida dimasukkan dan ditarik beberapa kali ke arah penenun. Belida lalu dikeluarkan dan sekeli dimasukkan secara membujur, kemudian disusul dengan memasukkan belida lagi serta menarik-nariknya ke arah penenun untuk memantapkan susunan benang. Proses pengangkatan kusuran, pemasukan sekeli dari kiri ke kanan dan sebaliknya serta penarikan belida dilakukan secara berulang-ulang hingga terbentuk sebuah kain.
2. Proses Pembuatan Tapis dengan ATBM
Dalam proses pembuatan tapis dengan menggunakan ATBM, para perajin umumnya sudah menggunakan benang produksi pabrik sehingga tidak perlu mengolah bahan dasar lagi untuk dijadikan benang. Jadi, bagi perajin yang menggunakan benang katun sebagai bahan dasar tapisnya, tidak perlu lagi mengolahnya karena telah tersedia benang siap pakai dengan berbagai macam warna. Sementara bagi perajin yang menggunakan benang masres dan sunwash, harus mengolahnya terlebih dahulu menggunakan pewarna kimia karena benang yang dijual di pasaran warnanya hanya putih polos.
Seperti telah dikatakan di atas, benang masres dan sunwash selain dapat dibeli pada toko-toko sekitar wilayah Kalianda dan Bandarlampung (dalam jumlah kecil), juga dapat dibeli langsung pada sentra produksinya di daerah Pekalongan, Jawa Tengah. Wujud awal benangnya sendiri masih dalam bentuk pak-pakan atau ball-ballan sehingga harus dicuci terlebih dahulu, kemudian direndam selama lebih kurang satu malam lalu dijemur hingga kering selama lebih kurang satu hari, bergantung ada atau tidaknya sinar matahari.
Bila benang telah kering, maka proses selanjutnya adalah dikelos menjadi gulungan-gulungan kecil menggunakan alat yang disebut gelosan/kelosan. Alat ini ada yang menggunakan penggerak mesin dan ada pula yang menggunakan tenaga manusia. Kelosan bertenaga mesin berbentuk persegi pajang terbuat dari bahan besi bulat yang bagian atasnya terdapat beberapa buah roda penggulungan berukuran besar dan kecil. Roda berukuran besar berfungsi untuk memintal benang hasil jemuran, sedangkan roda berukuran kecil untuk memindahkan benang dari roda besar menjadi kelosan-kelosan kecil. Sementara kelosan bertenaga manusia bentuknya lebih sederhana dan terbuat dari bahan kayu dan sebuah velg sepeda beserta pedal kayuhannya. Adapun prosesnya sama seperti kelosan mesin, hanya hasilnya lebih sedikit dan waktu pengerjaannya relatif lebih lama. Oleh karena itu, bagi pengusaha tapis berskala sedang dan besar hanya menggunakan kelosan bertenaga manusia untuk mengelos benang-benang penyawat saja.
Proses berikutnya adalah mengeteng atau merentangkan benang kelosan dengan alat yang disebut keteng. Benang kelosan atau disebut juga benang strengan atau benang lusi itu diletakkan pada kreel, yaitu rangka kayu untuk mencucukkan kelosan. Selanjutnya, ujung-ujung benang pada kelosan tadi diambil secara berurutan dari kreel nomor 1, 2, 3, dan seterusnya lalu dimasukkan atau dicucukkan secara berurutan pula pada besi silang, sisir silang (untuk satu lubang sisir hanya boleh satu helai benang), dan sisir hani. Setelah seluruh benang telah dicucukkan, maka bagian ujung-ujungnya disatukan lalu diikat pada kaitan yang terdapat pada tambur. Penghanian bisa dimulai dengan memutar tambur hingga benang tergulung dalam boom tenun dengan jumlah sebanyak yang diperlukan (maksimal hingga 200 meter).
Pada saat melakukan penghanian ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: (a) benang yang digulung panjangnya harus sama; (b) letak benang yang digulung pada boom tenun harus dalam keadaan sejajar; (c) benang yang digulung pada boom tenun bisa penuh atau sesuai keperluan; (d) lebar benang yang digulung pada boom tenun harus sedikit lebih besar dari sisir; (e) benang yang digulung harus lebih panjang dari kain yang akan dibuat; dan (f) permukaan benang pada boom tenun harus rata.
Setelah benang tergulung dalam boom dan menjadi bahan kain siap tenun, maka proses selanjutnya adalah penenunan awal atau ada yang menyebutnya ditenun carang/carangan karena persilangan antara benang lusi dan pakannya hanya bertujuan untuk membuat kunci sehingga belum rapat atau masih jarang-jarang. Proses ini dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya, yaitu pencetakan atau pensablonan motif dan ragam hias. Tujuannya, agar pencetakan atau pensablonan pola motif dan ragam hias dapat dilakukan secara sempurna.
Pada tahap mensablonan kain, jika perajin sudah ahli membuat pola sekaligus mensablonnya, maka pengerjaannya dapat dilakukan sendiri. Namun jika tidak dapat membuatnya sendiri atau hanya dapat membuat salah satunya saja, maka akan mempekerjakan orang yang ahli di bidang tersebut. Misalnya, para pengusaha tapis berskala menengah dan besar umumnya mempekerjakan orang-orang yang mempunyai keahlian khusus dalam mendesain pola dan mensablon kain. Cara kerja pendesain pola tapis bisa berdasarkan pesanan pengusaha atau desainan sendiri dengan berpatokan pada pakem motif dan ragam hias yang telah ada.
Setelah rancangan pola tapis berhasil dibuat, selanjutnya dibawa ke bagian pensablonan untuk dibuatkan planggan atau cetakan sablon berbentuk empat persegi panjang berukuran 1 meter x 1,20 meter. Sampel cetakan sablon itu lalu diserahkan pada pengusaha tapis untuk mendapatkan sersetujuan mengenai komposisi warnanya. Bila pengusaha telah setuju, tukang sablon lalu meramu obat-obatan kimia untuk membuat komposisi warnanya. Bahan pewarna kimia yang digunakan adalah porsen dengan harga bervariasi untuk setiap kilogram, bergantung warnanya. Adapun takarannya bergantung pula pada ukuran dan komposisi warna kain yang akan disablon. Misalnya, untuk membuat warna merah pada kain berukuran sekitar 25 meter dibutuhkan 80 gram porsen tipe 8b22r ditambah 20 gram porsen tipe 8b20r lalu dicampur 3 liter air. Pengoplosan warna dan obat pengawet umumnya bersifat rahasia dan hanya dikuasai oleh tukang sablon. Bahkan, pengusaha tapis yang mempekerjakannya seringkali tidak tahu atau tidak mengerti prosesnya, sehingga mulai dari membeli bahan pewarna hingga pensablonan dilakukan oleh tukang sablon.
Bila komposisi warna sudah didapatkan, proses selanjutnya adalah pensablonan. Caranya, tenun carangan digelar di atas meja sablon terbuat dari mika berukuran panjang 10 meter, lebar 1,20 meter, dan tinggi 1,20 meter. Selanjutnya planggan diolesi ramuan pewarna porsen lalu ditempelkan atau dicapkan pada kain. Agar warna menempel, ramuan porsen yang telah berada di dalam planggan digosok-gosong menggunakan karet tebal. Demikian seterusnya hingga seluruh kain tersablon.
Kain hasil sablonan kemudian dijemur hingga kering selama kurang lebih satu hari. Setelah kering, kain digantungkan sedemikian rupa lalu dimasukkan pada alat steam berbentuk kotak berukuran panjang 2 meter, lebar 2 meter, dan tinggi 3 meter. Bagian atas alat steam berbentuk segitiga sebagai penahan uap panas, sedangkan bagian belakangnya dipasangi tungku berbahan bakar kayu sebagai pemanas airnya. Uap yang keluar dari air panas disalurkan melalui sebuah pipa besi untuk menyeteam kain. Penyeteaman dilakukan pada suhu sekitar 140 derajat celcius selama 30 menit dengan tujuan untuk mematenkan warna sehingga tidak mudah luntur. Selesai diseteam kain dilorot atau dicuci pakai air panas lalu dibilas agar residu dari oplosan porsen yang mengandung soda hilang sehingga warna sablonan menjadi lebih terang. Kain yang telah dibilas dan bersih dari residu porsen itu lalu dijemur lagi hingga kering.
Proses selanjutnya, setelah kain kering, adalah penenunan akhir. Adapun inti prosesnya adalah penyilangan antara benang lusi dan benang pakan yang terjadi akibat turun naiknya gun secara bergantian. Ke dalam mulut lusi benang pakan diluncurkan untuk kemudian bersilang dengan benang-benang lusi dan akhirnya menjadi sehelai kain. Dan, proses terakhir adalah penyulaman motif dan ragam hias mengikuti pola-pola yang telah tersablon di kain tapis yang telah jadi.
3. Proses Pembuatan Ragam Hias Tapis
Untuk membuat sebuah tapis, terlebih dahulu kain dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Tapis model kuna (tapis tua) umumnya berukuran 65 centimeter x 120 centimeter, sementara tapis model baru berukuran antara 75 centimeter-80 centimeter x 120 centimeter. Sedangkan untuk membuat benda-benda bercorak tapis seperti peci, tas, tempat lipstik, dan sebagainya, kain terlebih dulu dipotong dengan ukuran selendang, kemudian disulam, baru dipotong lagi sesuai kebutuhan.
Bila kain telah dipotong sesuai ukuran yang dikehendaki, proses selanjutnya adalah pembuatan ragam hias yang diawali dengan menyambung kedua ujung kain hingga menyerupai tabung. Kemudian, kain dimasukkan pada kerangka tekang lalu dikencangkan dengan cara memasukkan papan pengencang secara melintang pada bagian tengah tekang dan kain yang akan disulam. Setelah kain terpasang sempurna pada alat tekang, proses berikutnya adalah pembuatan ragam hias. Untuk kain yang sudah memiliki ragam hias (kain sablonan), perajin hanya tinggal menyulamnya mengikuti ragam hias tersebut. Sementara, untuk kain yang masih polos, perajin harus membuat pola ragam hiasnya terlebih dahulu. Adapun untuk teknik pembuatannya, Marojahan, dkk (1990) membedakannya menjadi dua cara. Cara pertama, pola ragam hias tidak dipindahkan ke atas kain dasar, tetapi hanya dibuat di atas kertas pola saja. Dengan demikian pola sulaman dikerjakan secara naluriah, cukup dengan hanya melihat pada kertas pola. Patokan ukurannya berpegang pada garis yang ada pada kain dasar tapis karena memang pada umumnya bermotif garis. Cara membuat pola seperti ini dapat dilakukan karena motif-motifnya sudah sering dibuat dan perajinnya bukan pemula lagi. Sedangkan cara yang kedua adalah dengan menggambarnya pada kain yang akan disulam di atas pamidangan atau tekang. Pemberian gambar harus sesuai pula dengan garis-garis yang ada pada kain. Cara ini biasanya diterapkan untuk motif-motif baru atau perajinnya masih termasuk golongan pemula.
Bila motif ragam hias telah terbentuk, proses selanjutnya adalah penyulaman. Peralatan dan bahan yang digunakan untuk menyulam, diantaranya adalah: (a) benang sutera yang dirangkap 4,5,6,7, atau 8 sebelum digunakan; (b) benang sulam warna (wol) sebagai pelengkap dengan jumlah tidak banyak; (c) benang penyawat berupa benang biasa untuk menahat atau melekatkan benang sutera pada kain; (d) pamidangan atau tekang; (e) jarum jahit tangan; dan (f) gunting jahit.
Proses penyulaman kain dilakukan dengan menyucuk dan menyasab. Menyucuk adalah teknik menyulam sesuai dengan garis-garis warna yang ada pada kain dan patogan gambar, sedangkan menyasab adalah teknik menyulam dengan hanya mengikuti garis-garis kain yang telah ada. Penyulaman menggunakan jarum jahit tangan dan benangnya benang emas, benang perak, benang sutera, dan benang penyawat. Pada bagian lajur atas kain tapis tidak diberi ragam hias karena bagian ini diikat pada pinggang pemakainya. Bila akan menggeser kain yang akan dibuat ragam hias dilakukan dengan cara melonggarkan alat pengencang sambil menggerakkan kain sesuai keinginan penyulam.
Adapun waktu yang diperlukan untuk membuat sulaman pada selembar kain tapis bergantung pada beberapa hal, misalnya: motif dan ragam hias tapis; status pekerjaan penyulamnya; dan tempat penyulam mengerjakannya. Bila motif dan ragam hias relatif rumit akan memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan motif yang lebih sederhana. Selain motif, lama pengerjaan juga ditentukan oleh status pekerjaan si penyulam sendiri. Bila pekerjaan menyulam hanya sekadar sebagai sampingan atau tambahan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, maka waktu pengerjaannya akan lebih lama dibandingkan dengan orang yang pekerjaan utamanya sebagai penyulam tapis. Terakhir, bila pekerjaan menyulam dikerjakan di rumah sendiri, maka pengawasan menjadi lemah sehingga hasilnya secara kualitas bisa kurang memuasakan dan waktunya lama. Sebaliknya, bila penyulam ditampung di tempat pengusaha tapis, pekerjaannya dapat diawasi dan kualitas hasilnya relatif lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar